Pande Putu Widya Paramarta, Petani Muda Subak Bengkel Yang Kembangkan Beras Hitam

Widya Paramarta (baju warna ungu) dan istri (baju warna biru) menyerahkan produk turunan beras hitam kepada Menteri Pertanian, belum lama ini

Balitopnews.com, Tabanan- Saat ini dunia pertanian di Bali dikatakan tengah krisis generasi penerus. Bisa disebutkan profesi bertani ditekuni oleh segelintir masyarakatnya dan rata-rata pelakunya telah berumur. Profesi bertani juga dituding sebagai profesi sampingan.

Meski demikian, dibalik minimnya generasi muda Bali yang melirik bertani sebagai tumpuan ekonominya, ada sosok muda yang justru memilih gigih berbaur lumpur sebagai petani. Sosok muda tersebut tiada lain Pande Putu Widya Paramarta, warga Bengkel Buduk, Desa Bengkel, Kediri Tabanan.

Dihubungi via aplikasi whatsapp pribadinya, pria kelahiran 1 Desember 1991 ini mengatakan dunia bertani sendiri telah dikenalnya sejak ia masih kanak-kanak karena kakeknya memang seorang petani. Dimasa kanak-kanaknya itu seringkali ia menemani sang kakek ke sawah. Seringkali pula ia ikut larut bertani seperti misalnya ikut menanam jagung dan padi.

Keseriusannya untuk bertani dimulai semenjak ia duduk dibangku kuliah Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang yang ia selesaikan ditahun 2014 silam. Niatnya memilih bertani ini juga datang karena orang tuanya sendiri  sejak 2007 memiliki usaha penggilingan gabah.

"Jadi bisa disebutkan pilihan bertani ini karena faktor banyaknya dukungan disekeliling saya. Selain juga karena saya ingin potensi yang ada diwilayah subak saya bisa benar-benar bermanfaat bagi petani," ungkapnya.

Pemilik nama panggilan Tude ini mengenang, setelah lulus kuliah ia sempat bekerja diperbankan selama dua tahun hingga kemudian ditahun 2016 ia memilih mengundurkan diri karena jiwanya terpanggil untuk terjun ke sawah. Kini bersama orang tuanya ia menggarap lahan warisan keluarganya seluas satu hektar. Dari luas tersebut 33 are ia tanami padi beras hitam dan sisanya padi biasa. Kalau masa jeda biasanya ditanam sayur caisim. Adapun produktivitas gabah disebutkannya mencapai 8,5 ton per hektar dengan pola pemupukan berimbang, yakni per-arenya 2 kilogram urea berbanding  3 kilogram phonska dan 5 kilogram pupuk organik. Terakhir ia mencoba menambah 5 kilogram pupuk organik per-are.

Suami Lidya Puspita Ningrum ini menyebutkan saat awal terjun bertani ia  melihat ada potensi besar ketika berbicara ekonomi dari wilayah subaknya. Yakni memiliki luasan 318 hektar dengan   500 orang petani. Rata-rata produktivitasnya 7,5 ton per hektar. Sehingga dalam setahun  potensi pendapatan Subak Bengkel ini mencapai Rp. 21 milyar.

Pada sisi lain imbuhnya, pola mekanisasi di subak ini belum maksimal. Sehingga ia memandang ini sebagai sebuah peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan sarana mekanisasi pertanian.

"Saya juga melihat wilayah subak kami ini berpotensi sebagai obyek wisata pedesaan. Mengingat Desa Bengkel dan wilayah Subak Bengkel termasuk daerah penyangga wisata yang berdampingan dengan DTW Tanah Lot," terangnya.

Dari pandangannya tadi, ayah satu anak ini menjelaskan telah melakukan beberapa terobosan. Seperti pengembangan beras hitam sebagai produk unggulan Subak Bengkel. Berikutnya membentuk Unit Pelayanan Jasa Alsitan yang didalamnya diisi oleh kalangan generasi muda yang ingin memajukan pertanian melalui pemanfaatan mesin pertanian bantuan pemerintah. Terakhir bekerjasama dengan Desa Bengkel dan Desa Pangkung Tibah melakukan program penguatan jalan usaha tani untuk memudahkan akses lalu lintas bagi petani.

Lebih jauh Widya Paramarta mengatakan untuk ketersediaan pupuk saat ini disubsidi oleh Dinas Pertanian Tabanan termasuk pula bantuan kelengkapan alat dan mesin  pertanian. Sementara untuk infrastuktur pertanian seperti perbaikan saluran irigasi dan jalan usaha tani hingga saat ini belum tersentuh bantuan dari pihak Pemkab Tabanan.

Hanya saja lanjutnya hingga saat ini kepastian pasar belum mendapat perhatian dari pemerintah. Baginya ini sangat penting untuk melindungi petani disaat panen raya dari harga dari merosotnya harga jual.

Pada akhirnya Widya Paramarta berharap terciptanya pertanian yang berkelanjutan, yakni mulai dari petani, penyedia sarana produksi, pengusaha pengolahan, distribusi, dan konsumen memperoleh kepastian pasar dan harga yg layak. Disinilah menurutnya pemerintah dan para akademisi mengambil peran untuk melindungi setiap stakholder tadi.

"Semoga bantuan pemerintah tepat sasaran dan tepat guna dan harus disadari pula bahwa petani tidak bisa berdiri sendiri. Semoga ada pola yg saling menguntungkan untuk semua pihak yang bergelut di pertanian," harapnya.

Widya Paramarta juga menyebutkan bahwa menjadi petani bisa mendatangkan penghasilan lebih dibandingkan hanya mengandalkan bekerja disektor pariwisata atapun sektor formal lainnya. Tentunya bertani dituntut bekerja keras dan kreatif dalam melihat dan menemukan peluang yang ada.

"Generasi muda harusnya lebih pintar beradaptasi terhadap perubahan teknologi dan disanalah generasi muda memiliki peran baik dalam mengemas produk, marketing produk hingga  pengunaan mekanisasi pertanian. Ringkasnya harus berbagi peran dan didalamnya tentu harus  ada modal kecintaan untuk bertani dan tidak hanya karena alasan hasil semata tetapi kesadaran ikut berperan dalam melestarikan dan mewariskan nilai-nilai luhur bertani," tutupnya. (Balitopnews.com/Ngr)


TAGS :

Komentar